Pemimpin Tanpa Legitimasi

LintasPati.com - ,

Pemimpin Tanpa Legitimasi

Di sebuah titik, kekuasaan bukan lagi soal jabatan yang tertera di papan nama, atau tanda tangan yang sah secara hukum. Kekuasaan adalah soal kepercayaan—dan sekali kepercayaan itu terkikis, seorang pemimpin hanya menjadi bayangan yang kebetulan masih duduk di kursi.
Begitulah nasib seorang pemimpin yang kebijakan-kebijakannya tak lagi berpihak pada rakyat. Keputusan yang diambilnya bukan hanya membebani masyarakat, tetapi juga menyisakan luka di hati banyak orang. Bahkan cara ia berkomunikasi memperparah keadaan: narasi-narasi yang ia lontarkan bukannya meredam kegelisahan, tetapi justru menyiramkan bensin pada api kemarahan.
Ketika rakyat keberatan atas kebijakan yang mencekik, ia bukan mencari jalan tengah, melainkan menantang mereka untuk turun ke jalan. “Silakan demo,” katanya pongah, seakan ia kebal terhadap gelombang protes. Tantangan itu pun dijawab. Jalanan penuh dengan suara, spanduk, dan langkah-langkah marah. Rakyat yang dulu ikut menyoblos namanya di bilik suara kini berdiri di barisan yang sama: menuntutnya lengser.
Namun, dengan tameng klaim bahwa dirinya terpilih secara sah lewat proses demokrasi, ia enggan mundur. Ia lupa bahwa demokrasi bukan hanya tentang cara masuk ke kursi kekuasaan, tetapi juga tentang kerelaan melepaskannya ketika mandat rakyat telah hilang. Ketika ribuan orang berteriak di jalan, itu bukan sekadar keramaian, itu adalah bukti bahwa sebagian dari rakyat yang dulu memberinya tiket menuju kursi itu kini sudah menarik kembali kepercayaannya.
Pemimpin seperti ini memang secara hukum masih menjabat, tapi secara moral ia sudah jatuh. Ia menjadi pemimpin tanpa legitimasi. Dan itu berbahaya—bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk seluruh tata kelola pemerintahan. Bagaimana kebijakan akan berjalan jika rakyat sudah tak lagi percaya? Bagaimana aparat dan birokrasi akan bekerja efektif jika setiap perintah dari atas selalu dipertanyakan?
Pemerintahan yang dipimpin oleh sosok tanpa legitimasi hanyalah mesin besar tanpa oli: berisik, tersendat, dan sewaktu-waktu bisa macet total. Karena pemerintahan yang sehat bukan hanya butuh pemimpin yang sah secara hukum, tetapi juga yang sah secara moral di mata rakyatnya.
Seharusnya, seorang pemimpin yang benar akan sadar bahwa kekuasaan itu bukan hak milik pribadi. Kekuasaan hanyalah titipan. Dan ketika pemilik aslinya—rakyat—meminta kembali titipan itu, menahan diri untuk tidak mengembalikannya sama saja dengan mengkhianati demokrasi itu sendiri.

ALI ACHMADI, Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial, Tinggal di Pati


About redaksi

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.