Bupati Pati belakangan ini gencar menyuarakan
pentingnya pendidikan karakter dan moral, terutama bagi pelajar dan generasi
muda. Pidato-pidato resmi yang memuat seruan untuk membangun bangsa melalui
insan-insan berakhlak mulia telah menjadi narasi rutin yang terdengar dalam
berbagai kesempatan. Namun, publik dikejutkan dengan potret nyata yang sangat
bertolak belakang dari wacana moralitas tersebut. Sebuah pertunjukan goyang
seronok oleh Trio Srigala, yang dipertontonkan secara terbuka di depan bupati
dan jajaran pejabat Kabupaten Pati dalam acara penyerahan badan hukum Koperasi Desa/Kelurahan
Merah Putih serta penandatanganan MoU Hari Jadi Kabupaten, menjadi bukti yang
memalukan dan mengguncang rasa keadilan moral masyarakat.
Kegiatan ini bukan sekadar soal selera
hiburan. Ia menyangkut posisi moral seorang pemimpin yang sejatinya menjadi
teladan, bukan justru turut merayakan tontonan yang secara kasat mata jauh dari
nilai-nilai pendidikan, etika publik, maupun kearifan lokal. Bagaimana mungkin
seorang pemimpin yang menyerukan pentingnya pembentukan karakter pelajar,
justru mengizinkan—jika bukan menyambut—pertunjukan yang banal dan berpotensi
merusak citra pemerintah di mata publik?
Pertunjukan semacam ini bukan hanya tidak
sensitif terhadap nilai-nilai moral masyarakat, tetapi juga menunjukkan
ketimpangan empati di tengah kebijakan yang sedang digodok dan menimbulkan
kegelisahan publik: rencana kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan (PBB-P2) hingga 250%. Masyarakat Pati, yang sebagian besar adalah
petani dan pekerja informal, dihadapkan pada beban finansial yang tidak ringan.
Di tengah keresahan itu, justru tersaji pemandangan para pejabat
bersenang-senang dengan hiburan yang norak dan menjauh dari semangat keadaban
publik.
Sungguh sebuah ironi yang terang benderang.
Kesenjangan antara ujaran dan tindakan semakin mencolok. Ketika rakyat diminta
hidup prihatin, justru para elit pemerintahan tampak larut dalam perayaan tanpa
kepekaan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah komitmen moral yang
selama ini dikampanyekan benar-benar tulus, atau sekadar retorika politik tanpa
pijakan etis?
Ironi ini bukan hanya menyakitkan—ia
memalukan. Apalagi ketika pertunjukan tersebut terjadi di tengah acara
penyerahan badan hukum Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih dan penandatanganan
MoU Hari Jadi Kabupaten, sebuah agenda yang seharusnya menjadi simbol
pembangunan, kemajuan masyarakat, dan komitmen negara terhadap rakyat kecil.
Tapi yang justru terjadi adalah pesta pora murahan yang menodai akal sehat dan
menyinggung rasa keadilan masyarakat.
Acara semacam ini mencederai rasa keadilan
moral masyarakat dan semakin menjauhkan kepercayaan publik terhadap institusi
pemerintahan. Masyarakat tidak menuntut hiburan dihilangkan, tetapi mereka
berharap pemimpinnya memiliki sensitivitas etis dan estetika publik. Hiburan
bisa tetap hadir dalam format yang mendidik, membangun semangat kolektif, dan
tidak menimbulkan kegelisahan moral.
Pertunjukan seronok dan erotis di forum publik
bukan sekadar soal etika hiburan—ini adalah penghinaan terhadap nilai-nilai
masyarakat Pati yang mayoritas religius dan menjunjung tinggi kesantunan
budaya. Ini adalah simbol kelunturan kepemimpinan yang semestinya menjadi
panutan. Dan lebih dari itu, ini adalah wajah nyata dari pemerintah yang gagal
menjaga martabat di tengah rakyat yang sedang dituntut berkorban lebih.
Sebagai pemimpin, bupati semestinya mampu
menjadi mercusuar arah moral dan kebudayaan masyarakat, bukan justru bagian
dari problem yang melemahkan fondasi nilai itu sendiri. Jika pendidikan
karakter menjadi program unggulan, maka konsistensi moral dalam tindakan nyata
adalah keniscayaan yang tak bisa ditawar.
Kritik ini bukan semata untuk menjatuhkan,
tetapi untuk mengingatkan. Bahwa kepemimpinan sejati bukan diukur dari seberapa
keras seorang pemimpin berbicara di podium, melainkan dari seberapa teguh ia
menegakkan nilai dalam setiap laku dan kebijakan.
ALI ACHMADI,
Praktisi Pendidikan
dan Pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, tinggal di Pati
0 komentar:
Posting Komentar